Buku Managing People and Strategy eps.1


 eps.1

Artikel yang kini sedang ada dihadapan Anda ini hendak
membincangkan tiga tema sentral dalam dinamika bisnis modern,
yakni tent ang strategi bisnis, tentang pengembangan kinerja SDM,
dan tentang mindset.
Dalam bagian pertama Artikel ini akan diulas serangkaian gagasan
mengenai strategi. Selain mendedahkan sejumlah tema penting dalam
proses perumusan strategi, dalam bagian ini juga akan dieksplorasi
kasus nyata mengenai bagaimana perusahaan-perusahaan kelas dunia
mengeksekusi  strateginya hingga meraih sukses. Demikianlah, kita
kemudian akan melihat bagaimana rahasia Apple menguasai panggung
dunia digital, bagaimana strategi Singapore Airline menaklukkan
industri penerbangan global, dan juga bagaimana revolusi manajemen
dijalankan di perusahaan Nissan.
Dalam bagian kedua Artikel ini akan didiskusikan serangkaian ide
mengenai proses pengembangan kinerja SDM – sebuah tema sentral
dalam dinamika bisnis modern. Sebab, bukankan setiap great
organization selalu digerakkan oleh para great people? Karenanya ,
dalam bagian ini antara lain kita akan membahas mengenai peran CEO
dalam proses pengembangan kinerja SDM, dan juga mengenai mana
yang pertama kali harus diplih :  employee satisfaction atau customer
satisfaction. Dalam bagian ini pula ini kita akan berkisah tentang apa
yang harus dilakukan untuk membangun sebuah taman impian
bernama learning organization.
Bagian terakhir dari Artikel ini akan membahas sebuah tema
fundamental, yakni tentang mi ndset. Tak pelak, tema ini merupakan
batu pijakan untuk memastikan bahwa kedua tema sebelumnya –


Gaya Manajemen Nan Elegan dari Apple
iMac, iPod, iTunes, dan iPhone sungguh merupakan deretan karya
teknologi yang amat esteti k. Deretan produk elegan dengan sentuhan
seni yang mengesankan. Deretan produk yang barangkali ingin
menggapai dengan sepenuh hati apa itu makna keindahan yang
sempurna. Dan melalui deretan produk inilah, Apple kemudian
menyeruak menjadi pendekar paling tangguh dalam era konvergensi
digital masa depan.
Dalam lima tahun terakhir, Apple memang terus bergerak menggapai
langit prestasi. Setelah produk iPod-nya melambung dan membuat
para petinggi Sony kelabakan, kini Apple hendak menggoyang
kedigdayaan Nokia dengan produknya yang memukau, iPhone.
Sementara jutaan orang setiap hari mengunjungi kios musiknya via
iTunes. Pendeknya, menyaksi kan kisah Apple ibarat menikmati jus
apel yang segar dan menyehatkan. Lalu, apa sesungguhnya faktor
kunci dibalik menjulangnya kerajaan Apple?
Penyelidikan terhadap proses bisnis yang dilakoni oleh Apple
membawa kita pada tiga elemen kunci yang mungkin bisa
menjelaskan kejayaan perusahaan dari Cupertino, California ini.
Elemen yang pertama dan mungkin paling vital adalah eksistensi sang
CEO dan juga pendiri, Steve Jobs. Tak pelak, pria yang suka
berpenamilan casual ini merupakan figur kunci dibalik ketangguhan
Apple. Melalui visinya yang tajam dan citarasa yang kuat akan produk-
produk teknologi berest etika, Steve telah menjelmakan dirinya sebagai
jangkar yang amat menentukan ke arah mana bahtera Apple hendak
dilayarkan.
Pertautan Steve Jobs dengan Apple sendiri merupa kan sebuah kisah
yang panjang nan berliku. Pria yang drop out saa t kuliah di semester

pertama ini mendirikan perusahaan Apple ketika usianya baru masuk
22 tahun (!) dari sebuah garasi mobil di rumah kontra kan. Di tahun-
tahun awal berdirinya pada pertengahan tahun 70-an, Apple sempat
mengguncang dunia dengan mengeluarkan produk personal computer
pertama di dunia. Namun seiring berjalannya waktu, nasib Steve Jobs
sendiri justru berakhir tragis : pada tahun 1986 ia justru dipecat dari
Apple. Sejak ia pergi, Apple limbung dan didera kegagalan demi
kegagalan.
Setelah sempat berpetualang dengan mendirikan perusahaan Pixar
(yang memproduksi film animasi sukses seperti Toy Story, Finding
Nemo dan Cars), Steve Jobs melakukan langkah comeback : kembali
direkrut untuk mengomandani Apple. Saat itu, tahun 1997, Apple
tengah berada pada titik nadir, dan banyak orang meramalkan
perusahaan ini sebentar lagi akan masuk liang kubur. Senjakala
kematian mengintai dan mereka tak yakin Steve Jobs mampu
menjelmakan dirinya menjadi sang dewa penyelamat.
Toh sejarah kemudian menjadi saksi : betapa Steve Jobs telah
melakukan proses comeback yang spektakuler. Steve Jobs sendiri
sejatinya merupakan figur yang unik. Brilian, memiliki kepekaan seni
yang mumpuni (ia pernah belajar kaligrafi), namun sekaligus memiliki
sense of strong leadership. Pada sisi lain, Steve adalah pribadi yang
selalu memburu titik kesempurnaan – baik pada aspek desain ataupun
dalam proses manufakturing beragam lini produknya. Begitu ia yakin
dengan visi desain produknya, maka ia akan bekerja mati-matian
bersama para engineernya untuk memastikan agar desain itu benar-
benar dapat diproduksi dengan penuh kesempurnaan. Kisah
penciptaan iPod dan iPhone barangkali tak akan pernah terjadi tanpa
sikap perfeksionis dan sekaligus proses kepemimpinan yang kuat dari
Steve Jobs.
Elemen kedua yang menjadi penentu keberhasil an Apple adalah ini :
sinergi yang sempurna antara beragam tim – baik tim desain, tim
software, dan tim hardware. S emua melakukan kolaborasi secara
paralel dan simultan. Proses pencipt aan produk di Apple tidak
dilakukan secara setahap demi setahap, dimana setelah desain selesai
lalu diserahkan ke bagian software, lalu diteruskan lagi ke bagian
hardware. Sebaliknya, dalam prosesnya semua aspek ini dikerjakan
bersama-sama secara simultan. “Essentially it means that products
don’t pass from team to team. It’s simultaneous and organic. Products
get worked on in parallel by all departments at once — design,
hardware, software — in endless rounds of interdisciplinary design
reviews,”demikian tulis majalah Time dalam salah satu liputannya
yang memikat tentang Apple.
Elemen yang terakhir mungkin lebih jarang diketahui orang. Elemen
ini adalah hadirnya sang jenius lain bernama Jonathan Ive yang
menjabat sebagai  Chief Design Apple. Jonathan Ive adalah seorang
desainer produk brilian yang telah memiliki peran amat sentral dalam
sejarah kelahiran produk-produk legendaris Apple. Ive-lah yang
menjadi otak dibalik lahirnya produk iMac, iPod dan iPhone. Dengan
kata lain, sosok inilah yang dengan jitu menerjemahkan visi Steve
Jobs menjadi kenyataan melalui rangkaian produk yang elegan dan
penuh nuansa keindahan.
Demikianlah tiga eleme n kunci yang kira-kira bisa menjelaskan
tentang melambungnya prestasi Appl e. Jika kita telisik, ketiga elemen
ini semuanya bermuara pada
people management
: elemen yang
pertama tentang leadership yang kuat dan visioner, yang kedua
tentang kekuatan sinergi, dan yang ketiga tentang pengembangan
kompetensi dan keahli an
Rangkaian produk Apple selama ini memang selalu menebarkan
pesona yang menggetarkan. Namun dibalik itu semua, mereka juga
telah memberikan contoh yang sempurna tentang bagaimana
menjalankan proses people management secara elegan

Grand Livina dan Kisah Revolusi Manajemen di
Nissan
Nissan Grand Livina barangkali memang layak dinobatkan sebagai Car
of The Year unt uk tahun 2007 lalu. Diluncurkan bulan April tahun 2007
lalu, produk ini langsung laris manis bak pisang goreng. Laju
penjualannya membuat sang penguasa pasar, Kijang Innova, menjadi
ketar-ketir. Kisah manis Grand Livina ini seolah mengulang
kesuksesan Nissan X-Trail yang pada tahun 2005 pernah menjadi No.
1 SUV in Indonesia. Dua produk ini – dan juga sejumlah varian lain
Nissan lainya – lantas melambungkan kembali nama Nissan dalam
pasar otomotif di Indonesia, dan juga dalam industri mobil dunia.
Padahal sepuluh tahun lalu, kinerja Nissan telah berada di ambang
kebangkrutan, dan nyaris masuk liang kubur. Jadi, apa yang membuat
Nissan bisa melakukan proses pembalikan (turn around) secara
dramatis? Kisah tentang revolusi manajemen di Nissan mungkin tak
kalah atraktifnya dengan tampilan manis Grand Livina. Karena itu,
mari kita simak bersama.
Alkisah pada tahun 1999, bau kemenyan kematian kian merebak di
setiap sudut pabrik Nissan, Jepang. Lini produknya kian dilupakan
orang, dan setiap tahun terus didera kerugian demi kerugian. Kinerja
keuangannya berdarah-darah, dan pada tahun 1998, hutang Nissan
sudah mencapai Rp 200 trilyun (duh, malang benar nasibmu…).
Terompet kematian sebenarnya tinggal disuarakan, dan para petinggi
Nissan hanya bisa duduk terpekur dalam jerit kesedihan yang teramat
perih. Namun persis pada momen memilukan itu, muncul sang dewa
penyelamat da ri Perancis. Sang dewa itu bernama….Renault.
Setelah melalui negosisasi yang alot, perusahaan mobil Renault setuju
untuk membeli 37 % saham Nissan dan menggelontorkan dana segar.
untuk menyelamatkannya. Namun, Renault juga mint a satu hal :
posisi CEO Nissan. Demikianlah, setelah disepakati, Renault lalu
mengutus salah satu eksekutif terbaiknya bernama Carlos Ghosn
untuk menjadi CEO Nissan (sebuah fenomena yang juga amat langka
di Jepang, orang non-Jepang bisa menjadi CEO perusahaan besar
Jepang).
Pesan Renault untuk pria keturunan Lebanon ini lugas : segera angkat
koper ke Jepang, selamatkan Nissan, dan jangan pernah kembali ke
Paris sebelum engkau berhasil. Begitulah, pada pertengahan tahun
1999, Carlos Ghosn resmi menjadi CEO Nissan untuk memulai sebuah
mission almost impossible
.
Segera sejak itu, Carlos melakukan serangkaian langkah kunci untuk
merevitalisasi kebesaran Nissan. Yang pertama  ia lakukan adalah
building sense of urgency untuk berubah. Pilihan bagi Nissan saat itu
memang cuma dua : berubah atau mati. Dan fakta serta data yang
ada memang mampu membuat segenap pekerja Nissan percaya
bahwa kondisi Nissan sudah berada pada titik na dir, and they have to
change to survive.
Langkah berikutnya adalah meluncurkan apa yang ia sebut sebagai
Nissan Recov ery Plan. Dalam rencana inilah dipetakan secara detail
dan jelas tindakan kunci apa saja yang perlu dilakukan untuk
mentransformasi Nissan. Dalam recovery plan ini terdapat dua strategi
kunci. Yang pertama adalah segera melakukan revitalisasi produk-
produk baru Nissan. Proses pengembangan produk baru harus
dipercepat dan segera ditingkatkan kapabilitasnya. Disini Nissan
merekrut salah satu desainer mobil top Jepang, Shiro Nakamura,
untuk menjadi Chief Design Nissan, dan keputusan ini ternyata kelak
terbukti ama t vital untuk merevitalisasi lini produk Nissan. Strategi
yang kedua adalah melakukan efisiensi biaya secara besar-besaran.
Termasuk didalamnya adalah menutup pabrik-pabrik yang tidak
produktif, mensentralkan proses purchasing secara global agar lebih
efisien, serta juga mengeliminasi pekerjaan-pekerjaan yang non
value-added.
Langkah terakhir yang dilakukan Carlos Ghosn adalah membetuk Tim
Inti yang langsung dikomandani dirinya. Tugas tim ini jelas dan tegas :
memastikan bahwa semua yang tercantum dalam recovery plan dapat
di-EKSEKUSI dengan tuntas. Eksekusi atau implementasi menjadi kata
kunci disini. Dan beruntung, Carlos ternyata bukan tipe leader yang
hanya bicara visi, visi dan visi saja alias hanya blah-blah-blah. Carlos
merupakan tipe eksekutor sejati. Ia selalu fokus pada hasil (result
oriented) dan berorientasi pada bagaimana menuntaskan proses
eksekusi. Sikap semacam ini tak pelak merupakan elemen penting
untuk memastikan agar semua  recovery plan itu tak hanya tinggal
rencana – namun benar-benar diimplementasikan sesuai sasaran.
Serangkaian langkah kunci diatas ternyata benar-benar membawa
keajaiban. Pada tahun 2001 Nissan telah kembali meraih keuntungan,
dan terus mengalami pertumbuhan yang mengesankan hingga hari ini.
Melalui tindakan eksekusi yang terukur dan brilian, ternyata Carlos
bisa menuntaskan misi yang dibentangkan ke pundaknya. “From Zero
to Hero”, begitu mungkin judul yang pas untuk menarasikan drama
penyelamatan Nissan.
Nissan Grand Livina dan Nissan X-Trail mungkin boleh terus
melenggang di jalanan. Namun setiap kali melihat tampilan mereka
yang indah nan elegan, saya selalu teringat akan kisah revolusi
manajemen di Nissan : itulah sederet kisah tentang heroisme, tentang
spirit perubahan, dan tentang semangat pantang menyerah. Bravo
Nissan. Bravo Carlos Ghosn.

Merancang Strategi Inovasi
Hidup barangkali kini terasa makin nyaman, dan untuk itu kita layak
memberikan ucapan terima kasih pada para inovator yang telah
mempersembahkan aneka produk inovatif dihadapan kita. Dua  dekade
silam, kita mungkin tak pernah membayangkan betapa kita bisa
melayangkan sederet kalimat romantis pada kekasih kita melalui
medium SMS. Atau, juga melakukan chatting dengan kawan
diseberang samudera melalui fasilitas internet. Karena itu, siapa tahu
dua puluh lima tahun lagi kita bisa menikmati mobil terbang,
melayang diata s jalanan kota Jakarta sambil menikmati pendaran
emas menara Monas?
Ya kini tiap hari rasanya kita senantiasa disuguhi aneka produk yang
menawarkan sejumput inovasi demi sebuah kenikmatan hidup. Mulai
dari produk kamera digital, internet banking, media televisi diatas
screen telpon genggam, hingga produk celana-dalam-sekali-pakai-
kemudian-dibuang. Hidup memang terus bergerak, dan setiap
perusahaan seperti dipacu untuk terus meluncurkan aneka produk
baru. Dengan kata lain, tanpa inovasi, sebuah perusahaan hampir
pasti akan terpelanting mati dalam sirkuit persaingan bisnis yang kian
brutal. Persoalannya kemudian adalah : bagaimana caranya suatu
perusahaan bisa menjadi lebih inovatif; bukan hanya dalam aneka
produk yang dibuat, namun juga dalam rangkaian proses pengelolaan
manajemennya? Sejumlah penyelidikan menyebut tiga aspek kunci
yang layak digenggam dalam perlombaan menjadi sang jawara inovasi.
Aspek yang pertama adalah, pencipt aan iklim inovasi dalam denyut
kehidupan suatu perusahaan. Tentu saja harus segera disebut bahwa
penciptaan iklim ini tidak hanya dapat dilakukan melalui aneka slogan
atau lips service belaka. Iklim ini hanya bisa mekar melalui sistem
pengelolaan manajemen yang demokratis, bergerak cair dalam lintas

departemen, dan diusung melalui pola kepemimpinan yang terbuka
terhadap beragam ide baru, betapapun radikalnya ide baru itu. Dalam
kenyataannnya, pola kepemimpinan yang demokratis bahkan disebut
sebagai faktor kunci bagi mekarnya kreativitas diantara para karyawan.
Tanpa pola kepemimpinan yang empowering, maka barisan karyawan
yang penuh daya kreativitas sekalipun, niscaya akan layu dan
tenggelam dalam frustasi lantaran ide-idenya selalu terbentur dengan
tembok birokrasi yang mematikan.
Aspek yang k edua, adalah adanya visi dan arah yang jelas mengenai
strategi perusahaan menghadapi lansekap pasar masa depan. Tanpa
strategi yang jelas, aca pkali proses inovatif yang telah dimunculkan
hanya akan berputar-putar ditempat tanpa mampu diterjemahkan
menjadi produk unggul yang menguntungkan dan menang di pa saran.
Kisah klasik yang tragis mengenai kehebatan para peneliti di Xerox
mungkin layak disebut disini.
Pada tahun 70an, para peneliti Xerox inilah yang pertama  kali
menemukan teknologi mouse, dan juga tampilan windows yang kini
menghiasi setiap layar komputer. Namun tragisnya, para petinggi
Xerox tidak mampu melihat itu semua sebagai strategi penciptaan
produk yang menguntungkan. Pada akhirnya, perusahaan lainnya
yang kemudian mengeksploitasi beragam temuan inovatif itu menjadi
aneka produk legendaris. Pesannya barangkali jelas : sebuah
perusahaan mesti menempatkan segenap proses inovasinya dalam
payung strategi yang jelas mengenai masa depan. Tanpa itu, maka
proses inovasi yang melelahkan hanya akan berujung pada kegagalan
yang tragis.
Aspek yang te rakhir yang juga layak diperhatikan ketika perusahaan
hendak berinovasi adalah kepekaan mengantisipasi kebutuhan masa
depan pelanggan. Keberhasilan fenomenal Apple dalam mendesain

dan menjual iPod sungguh tak lepas dari kepaiawaian mereka dalam
mengendus perubahan gaya hidup pelanggan menuju
digital lifestyle.
Dan kini, mereka mencoba menduplikasi kesuksesan iPod dengan
meluncurkan iPhone, sebuah produk inovatif yang mengundang
banyak decak kagum.
Kisah sukses Apple ini mengindikasikan bahwa  strategi inovasi yang
jitu mesti harus selalu ditautkan dengan dinamika kebutuhan
pelanggan, atac acap disebut sebagai
customer driven innovation
strategy
.
Proses menjadi perusahaan yang inovatif memang tidaklah mudah.
Dibutuhkan energi, nafas yang panjang dan juga kreativitas yang
jempolan untuk melaksanakan tiga aspek diatas secara optimal.
Namun kini ketika hidup terus bergerak kearah yang makin hiper-
modern, barangkali pilihannya memang tinggal inovasi atau mati. Mati
pelan-pelan dalam kuburan produk-produk usang yang membosankan. Namun tragisnya, para petinggi

Xerox tidak mampu melihat itu semua sebagai strategi penciptaan
produk yang menguntungkan. Pada akhirnya, perusahaan lainnya
yang kemudian mengeksploitasi beragam temuan inovatif itu menjadi
aneka produk legendaris. Pesannya barangkali jelas : sebuah
perusahaan mesti menempatkan segenap proses inovasinya dalam
payung strategi yang jelas mengenai masa depan. Tanpa itu, maka
proses inovasi yang melelahkan hanya akan berujung pada kegagalan
yang tragis.
Aspek yang te rakhir yang juga layak diperhatikan ketika perusahaan
hendak berinovasi adalah kepekaan mengantisipasi kebutuhan masa
depan pelanggan. Keberhasilan fenomenal Apple dalam mendesain
Meracik Ulang Strategi Bisnis
Ditengah arus perubahan lingkungan bisnis yang makin intens,
tampaknya setiap perusahaan di tuntut untuk memiliki daya adaptasi
dan responsi yang makin tinggi. Sebabnya jelas : tanpa kemampuan
untuk melakukan self transformation secara konstan, sebuah
perusahaan beresiko untuk tenggelam, dan kemudian terpelanting
mati oleh arus gelombang perubahan yang terus berjalan tanpa
mengenal letih.
Dalam konteks riil, kita acap disuguhi oleh drama tentang proses
transformasi yang dilakoni oleh banyak perusahaan – baik yang
berakhir dengan kesuksesan ataupun gagal ditengah jalan. Kita
misalnya melihat, bagaimana rakasasa t eknologi IBM melakukan
proses transformasi untuk menghindarkan dirinya dari kematian yang
mengenaskan pada awal  tahun 90-an. Seperti kita tahu, saat itu, IBM
secara global berada pada ambang kebangkrutan lantaran didera
kerugian lebih dari 7 milyar US dollar. Pesaing-pesaing baru yang lebih
lincah datang menyerga p dan menggerogoti kue bisnis IBM – pertama
secara pelan-pelan, namun lama-lama terasa sergapan itu makin
membuat IBM limbung – bagai raksasa yang kehilangan oksigen untuk
bernafas.
Beruntung saat i tu petinggi IBM sadar, dan segera melakukan proses
transformasi yang cukup radikal : yakni merubah bisnis utamanya dari
penyedia hardware seperti mainframe dan deskt op menjadi lebih
berokus pada jasa konsultasi teknologi. Alasannya, bisnis jasa
konsulta si dan bukan lagi bisnis jualan hardware, yang dianggap lebih
mewakili masa depan. Tentu saja perubahan drastis ini segera
menuntut perubahan pada semua aspek operasi kerja IBM, baik pada
cara pengelolaan SDM-nya, proses manajemen pengetahuannya, dan
juga bagaimana ia memasarkan produk-produk jasanya. Kini setelah
lebih dari 10 tahun, proses transformasi tersebut sepertinya
menunjukkan hasil yang layak diberi tepuk tangan. Saat ini, IBM tetap
mampu mengukuhkan di rinya sebagai perusahaan teknologi terbesar
didunia dengan jumlah revenue lebih dari 100 milyar US dollar
pertahun.
Amsal diatas menunjukkan bahwa proses transformasi barangkali
memang sebuah kensicayaan yang tak t erelakkan. Persoalannya,
menjalani proses transformasi perusahaan atau corporate
transformation ternyata mesti melewati jalan panjang, terjal nan
berliku. Dari sejumlah pengalaman best practices yang bisa dicermati,
terdapat sejuml ah elemen yang bisa membawa keberhasilan proses
transformasi. Yang pertama, tentu saja adalah visi dan terutama
strategi masa depan yang jelas, koheren, dan diyakini akan mampu
membawa perusahaan ke arah kegemilangan. Keberhasilan
transformasi IBM, salah satunya, disebabkan mereka mengawalinya
dengan satu visi yang jelas mengenai arah pasar teknologi masa
depan, dan bagaimana mereka harus merebutnya.
Elemen berikutnya adalah kepemimpinan yang kredibel (konsisten
antara visi dengan tindakan) dan juga kapabel (memiliki ketrampilan
untuk menginspirasi jajaran manajemen lainnya untuk bergerak
menuju arah perubahan yang ingin diraih). Yang tak kalah penting,
kepemimpinan yang solid ini mestinya tidak hanya ada pada top
manajemen namun juga meny ebar merata pada kalangan manajemen
madya. Sebab, dalam banyak kasus, proses perubahan yang
menyangkut semua segi perusahaan amat membutuhkan
kepemimpinan yang tangguh pada level menengahnya. Manajemen
madya inilah yang akan memastikan bahwa visi dan arahan strategi
dari top manajemen bisa diartikulasikan kesegenap karyawan – dan
pada pundak mereka juga, implementasi rill dari strategi itu
dioperasionalkan. Dengan demikian, mereka memiliki peran kritikal
dalam memastikan apakah visi perubahan itu bisa berjalan secara
konkrit atau cuma tinggal dibayang-bayang fantasi belaka.
Visi dan arah strategi perubahan yang jelas; disertai dengan
kepemimpinan yang solid baik dari level top maupun mid-manajemen
merupakan elemen-elemen inti yang acap me warnai setiap
keberhasilan proses transformasi. Ketiga elemen inilah yang mungkin
mesti diperhatikan dalam perjalanan menuju perubahan yang
diangankan. Sebuah proses perubahan yang memang harus dilakukan,
terutama jika suatu perusahaan ingin hidup – meminjam ungkapan
Chairil Anwar – seribu tahun lagi. berliku. Dari sejumlah pengalaman best practices yang bisa dicermati,
terdapat sejuml ah elemen yang bisa membawa keberhasilan proses
transformasi. Yang pertama, tentu saja adalah visi dan terutama
strategi masa depan yang jelas, koheren, dan diyakini akan mampu
membawa perusahaan ke arah kegemilangan. Keberhasilan
transformasi IBM, salah satunya, disebabkan mereka mengawalinya
dengan satu visi yang jelas mengenai arah pasar teknologi masa
depan, dan bagaimana mereka harus merebutnya.
Elemen berikutnya adalah kepemimpinan yang kredibel (konsisten
antara visi dengan tindakan) dan juga kapabel (memiliki ketrampilan
untuk menginspirasi jajaran manajemen lainnya untuk bergerak
menuju arah perubahan yang ingin diraih). Yang tak kalah penting,
kepemimpinan yang solid ini mestinya tidak hanya ada pada top
manajemen namun juga meny ebar merata pada kalangan manajemen
madya. Sebab, dalam banyak kasus, proses perubahan yang
menyangkut semua segi perusahaan amat membutuhkan
kepemimpinan yang tangguh pada level menengahnya. Manajemen
madya inilah yang akan memastikan bahwa visi dan arahan strategi
dari top manajemen bisa diartikulasikan kesegenap karyawan – dan
pada pundak mereka juga, implementasi rill dari strategi itu
dioperasionalkan. Dengan demikian, mereka memiliki peran kritikal

Cukup Sekian dulu, nanti di sambung Lagi. ok

Share on Google Plus

About Unknown

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar